Monday, 29 February 2016

Sejarah Kota Tangerang

Sejarah Kota Tangerang


Ceritanya malam ini ngobrol bareng teman-teman kosan, gak sengaja membahas asal usul kota Pontianak yang katanya ada hubungannya dengan menangkap kuntilanak. Hoho,,itu menurut novel karya Tere Liye.
Terus nyambung ke asal daerahnya Teman saya Tina, yaitu Sirampog, yang artinya mandi di ujung. Jadi kenapa Sirampog itu lokasinya di bukit yang paling tinggi di dataran Bumiayu
Naah, saya???
saya sama sekali gak ngerti kenapa wilayah saya dibesarkan, dinamakan kota Tangerang, jadi saya langsung browsing tentang asal muasal kota Tangerang, tapi saya lupa tulis sumbernya..:((

*___*
Nama Tangerang menurut sumber berita tidak tertulis berasal dari kata “Tangeran”, kata “Tangeran” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”. Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.

Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :

Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi

Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang

Kemudian kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang” disebabkan pengaruh ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang”.

Menurut kajian buku “Sejarah Kabupaten Tangerang” yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita pemerintahan ini telah berkembang di masyarakat.

Cerita itu berawal dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Pangkat ketiga Maulana tersebut adalah Aria.

Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata “Benteng” ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.

Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.

Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat “Radin Sina Patij dan Keaij Daman” sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.

Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah ”Keaij Dipattij Soera Dielaga”. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.

Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: ”Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni”

Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.

Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan ”Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut ”Superintendant of Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: ”...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya”

Kabupaten Tangerang sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan sosial dan interaksi antardaerah lain. Hal ini, disebabkan letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta - Banten.

Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten dengan Penjajah Belanda.

Secara tutur-tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.

Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon, basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal-bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa [sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga = Tigaraksa].

Pemerintahan ketiga maulana ini, pada akhirnya dapat ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah terjadi tahun 1684. Berdasar catatan pada masa ini pun, lahir sebutan kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir ketika Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane [diyakini di kampung Gerendeng, kini].

Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan Tangerang [bahasa Sunda=tanda] memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, "Bismillah peget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/ Rengsenaperang netek Nangeran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang"

Arti tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadane] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"

Diperkirakan sebutan Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang.
Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.

Para bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 - 1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta.

Lalu, dibuat kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di Jakarta, sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir masa tuan tanah di Tangerang.

Pada 8 Maret 1942, Pemerintahan Penjajah Belanda berakhir di gantikan Pemerintahan Penjajah Jepang. Namun terjadi serangan sekutu yang mendesak Jepang di berbagai tempat, sebab itu Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.

Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan [barisan bantu polisi] dan Seinendan [barisan pemuda]. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta Ken ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Adapun Tangerang pada waktu itu masih berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken (kabupaten).

Berdasar Kan Po No. 34/2604 yang menyangkut pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang menetapkan terbentuknya pemerintahan di Kabupaten Tangerang. Sebab itu , kelahiran pemerintahan daerah ini adalah pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.

Dalam masa-masa proklamasi, telah terjadi beberpa peristiwa besar yang melibatkan tentara dan rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan Belanda, yaitu Pertempuran Lengkong dan Pertempuran Serpong.

Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Tangerang sebagai daerah lintasan dan berdekatan dengan Ibukota Negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah diterbitkannya Inpres No.13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek, di mana kabupaten Tangerang menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.

Tanggal 28 Pebruari 1993 terbit UU No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Berdasarkan UU ini wilayah Kota Administratif Tangerang dibentuk menjadi daerah otonomi Kota Tangerang, yang lepas dari Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu terbit pula Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Dati II Tangerang dari Wilayah Kotamadya Dati II Tangerang ke Kecamatan Tigaraksa.

Akhirnya, pada awal tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pun di pindahkan Bupati H. Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini dinilai strategis dalam upaya memajukan daerah karena bertepatan dengan penerapan otonomi daerah, diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan daerah, adanya revisi pajak dan retribusi daerah, serta terbentuknya Propinsi Banten.

Sunday, 14 February 2016

PEGENDALIAN SOSIAL DALAM UPAYA MENGATASI PERILAKU MENYIMPANG DAN SIKAP ANTI SOSIAL



PEGENDALIAN SOSIAL DALAM UPAYA MENGATASI PERILAKU MENYIMPANG DAN SIKAP ANTI SOSIAL


A.Pengertian Pengendalian Sosial

Perlu diketahui bahwa setia masyarakat menginginkan kehidupan yang tentram, damai, dan teratur. Dengan itulah masyarakat perlu suatu sistem untuk mengatur semua perilaku yang menjadi tujuan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat perlu ada pengendalian sosial. Sebelum berbicara jauh tentang pengendalian sosial, alangkah baiknya kita paparkan pengertian pengendalian sosial secara sekilas. Pengendalian sosial sering diartikan sebagai proses pengawasan dari suatu kelompok terhadap kelompok lain dan mengajarkan, membujuk, atau memaksa individu maupun kelompok sebagai bagian dari masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat. Berikut pengertian pengendalian sosial menurut para ahli, antara lain :
1.      Peter L Berger 
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang menyimpang
2.      Joseph Stabey Roucek
Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana yang didalamnya individu diajarkan, dibujuk, ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
3.      Horton dan Hunt
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang tua atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai harapan kelompok atau masyarakat.
4.      Bruce J Cohen
Pengendalian sosial adalah cara-cara atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak-kehendak kelompok atau masyarakat tertentu.
B. Tujuan Pengendalian Sosial

Sangat perlu diketahui bahwa pengendalian sosial memiliki beberapa, antara lain sebagai berikut:
1.      Agar masyarakat mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku.
Pengendalian sosial diciptakan oleh masyarakat menitikberatkan pada orang yang melakukan penyimpangan terhadap nilai dan norma sehingga memaksa pelaku penyimpangan untuk patuh terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
2.      Agar tercipta keserasian dan kenyamanan dalam masyarakat.
Pengendalian sosial juga mampu menciptakan situasi yang tentram dalam masyarakat apabila pengendalian sosialnya benar-benar dijalankan. Dengan adanya pengendalian sosial, biasanya pelaku penyimpangan sosial akan jera bahkan takut akan berbuat sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
3.      Agar pelaku penyimpangan kembali mematuhi norma yang berlaku.
Adanya pengendalian sosial dalam masyarakat diharapkan masyarakat mampu menjalankan seluruh nilai dan norma yang tertulis maupun tidak tertulis. Apabila terdapat penyimpangan terhadap nilai dan norma maka akan diberi sanksi. Contohnya, ketika sesorang telah melanggar aturan yang berlaku, ia diberi sanksi (pengendalian sosial) agar kedepannya ia tidak akan mengulangi atau akan taat pada aturan yang ada.


C. Pola Pengendalian Sosial

Dalam masyarakat terdapat empat pola pengendalian sosial, yaitu pengendalian kelompok terhadap kelompok, pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya, dan pengendalian individu terhadap individu lainnya dan pengendalian individu terhadap kelompok
1.      Pengendalian kelompok terhadap kelompok
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok mengawasi perilaku kelompok lain, misalnya BNN mengawasi kelompok pengguna narkoba.
2.      Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok menentukan perilaku anggota-anggotanya, misalnya suatu sekolah yang mencatat siswa-siswanya yang telah melanggar aturan sekolah.
3.      Pengendalian individu terhadap kelompok
Pengendalian ini terjadi apabila seseorang menginginkan kelompok tersebut sesuai dengan keinginannya maupun masyarakat. Misalnya Wali kelas yang mengawasi anak didiknya setiap hari. 
4.      Pengendalian individu terhadap individu lainnya
Pengendalian ini terjadi apabila individu melakukan pengawasan terhadap individu lain, misalnya ayah mengawasi anaknya. 

D. Fungsi Pengendalian Sosial

Para pelaku penyimpangan selalu bertanya, buat apa diciptakan pengendalian sosial? karena bagi mereka hal ini hanya membuat mereka terkekang untuk melakukan tindakan pelanggaran terhadap nilai dan norma. Untuk itu, perlu dikatahui bahwa terdapat beberapa fungsi pengendalian sosial dalam masyarakat yaitu:
            1.      Mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma sosial.
            2.      Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
            3.      Mengembangkan rasa takut untuk tdk melakukan perbuatan yg dinilai beresiko.
            4.      Menciptakan sistem hukum (aturan yang disusun secara resmi dan disertai sanksi).
E. Sifat Pengandalian sosial
Ada dua macam sifat pengendalian sosial yakni :

1.Bersifat preventif

Pengendalian bersifat preventif  adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah (pencegahan) terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial. Jadi tindakan ini dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan. Orang yang melakukan pengendalian sosial ini adalah orang mengetahui tentang nilai dan norma, selanjutnya ia sosialisasikan atau bentuk penyuluhan kepada orang yang belum medapatkan informasi tentang nilai dan norma lama maupun yang baru. Contoh : guru (waka kesiswaan) menasehati calon siswa baru tentang nilai dan norma yang berlaku di sekolah tersebut agar kedepannya siswa baru tidak melanggarnya.






     2. Bersifat Represif

     Pengendalian sosial yang bersifat refresif adalah pengendalian yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran dengan cara memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengendalian ini dilakukan setelah terjadinya penyimpangan agar pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya dan mentaati nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Contoh : Waka Kesiswaan (guru) menghukum siswa yang terlambat datang ke sekolah.

F. Proses Pengendalian Sosial

1.       Secara Persuasif 

Pengendalian sosial secara persuasif dilakukan dengan cara lemah-lembut, membimbing atau mengajak individu untuk mematuhi atau berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat bukan dengan cara kekerasan. Dengan kata lain, ketika seseorang telah melakukan penyimpangan maka sanksi yang diberikan adalah dengan rehabilitasi, dinasehati, atau diajak untuk melakukan yang bermanfaat. Akan tetapi tidak semua penyimpangan mampu diselesaikan dengan cara ini, karena setiap penyimpangan memiliki cara tersendiri untuk membuat pelaku akan kembali ke nilai dan norma yang berlaku.

2.      Secara Koersif

Ada kalanya pengendalian sosial dengan cara koersif, artinya pengendalian sosial secara koersif dilakukan dengan kekerasan atau paksaan. Karena penyimpangan yang telah berulang-ulang kali atau yang telah merugikan orang banyak hendaknya dilakukan dengan paksaan. Pengendalian sosial dengan kekerasan dibedakan menjadi dua:
1)      Kompulsi (paksaan), artinya keadaan yang sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya dan menghasilkan suatu kepatuhan yang sifatnya tidak langsung. Contoh: diberlakukannya sanksi skorsing bagi siswa yang banyak melanggar aturan sekolah.
2)      Pervasi (pengisian), secara pengertian pervasi merupakan cara penanaman atau pengenalan norma secara berulang-ulang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkan. Contoh: pecandu narkoba dipaksa untuk berhenti dan diberi penyuluhan berulang-ulang tentang bahaya narkoba.


G. Cara-cara Pengendalian Sosial
              Secara umum pengendalian sosial dapat dibedakan dengan dua cara yaitu :
1.       Pengendalian Sosial secara Formal

1)      Pengendalian sosial melalui hukuman fisik
Pengendalian sosial cara ini dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi atau yang diakui keberadaannya. Contohnya penembakan pelaku teroris yang menyerang aparat kepolisian.


2)      Pengendalian sosial melalui lembaga pendidikan
Pendidikan merupakan pengendalian sosial secara terencana dan berkesinambungan agar terjadi perubahan-perubahan positif dalam perilaku seseorang. Dengan hal itu, diharapkan perilaku tersebut tidak menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
3)      Pengendalian sosial melalui ajaran agama
Setiap pemeluk agama akan berusaha sedapat mungkin menjalankan ajaran agamanya tersebut dalam tingkah lakunya sehari-hari. Ajaran agama mempunyai sanksi mutlak. Hal ini membuat ajaran agama sebagai media pengendalian sosial yang cukup besar pengaruhnya dalam menjaga stabilitas masyarakat. 
       


  2.      Pengendalian Sosial secara Informal
               Sedangkan pengendalian sosial secara informal dapat dilakukan melalui enam cara :
1)      Cemoohan
Cemoohan adalah tindakan membicarakan seseorang dengan menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, atau kata-kata yang berlebihan serta bermakna negatif.
2)      Desas-desus (gosip)
Desas-desus adalah berita yang menyebar secara cepat dan tidak berdasarkan fakta atau bukti-bukti kuat.
3)      Ostrasisme (pengucilan)
Ostrasisme adalah suatu tindakan pemutusan hubungan sosial dari sekelompok orang terhadap seorang anggota masyarakat.
4)      Fraundulens
Fraundulens merupakan bentuk pengendalian sosial yang umumnya terdapa pada anak kecil. Misalnya, A bertengkar dengan B. Jika si A lebih kecil dari B, maka si A mengancam bahwa dia mempunyai kakak yang berani yang dapat mengalahkan B. 
5)      Teguran
Teguran merupakan cara pengendalian sosial melalui perkataan atau tulisan secara langsung. Teguran dilakukan agar pelaku perilaku menyimpang segera menyadari kekeliruannya dan memperbaiki dirinya.
6)      Intimidasi
Intimidasi merupakan cara pengendalian sosial yang dilakukan dengan paksaan, biasanya dengan cara mengancam atau menakut-nakuti. Aparat penegak hukum sering menggunakan cara ini untuk mengorek keterangan dari orang yang dimintai keterangannya.

H. Jenis-jenis Lembaga Pengendalian Sosial

Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa lembaga pengendalian sosial dalam masyarakat tidak hanya di Kepolisian. Masih banyak lagi lembaga pengendalian sosial di masyarakat bisa menyelesaikan beberapa masalah penyimpangan atau pelanggaran baik di lembaga formal maupun non-formal seperti :

         1.      Lembaga kepolisian 
Polisi merupakan aparat resmi pemerintah untuk menertibkan keamanan. Tugas-tugas  polisi, antara lain memelihara ketertiban masyarakat, menjaga dan menahan setiap anggota masyarakat yang dituduh dan dicurigai melakukan kejahatan yang meresahkan masyarakat, misalnya pencuri, perampok dan pembunuh. 
         2.      Pengadilan
Pengadilan lembaga resmi yang dibentuk pemerintah untuk menangani perselisihan atau pelanggaran kaidah di dalam masyarakat. Pengadilan memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain. Unsur-nsur yang saling berhubungan dengan pengadilan adalah hakim, jaksa dan pengacara. Dalam proses persidangan, jaksa bertugas menuntut pelaku untuk dijatuhi hukuman sesuai peraturan yanag berlaku. Hakim bertugas menetapkan dan menjatuhkan putusan berdasarkan data dan keterangan resmi yang diungkapkan di persidangan. Pengacara atau pembela bertugas mendampingi pelaku dalam memberikan pembelaan. 

      3 Tokoh adat
·                     Tokoh adat adalah pihak yang berperan menegakkan aturan adat. Peranan tokoh adat adalah sangat penting dalam pengendalian sosial. Tokoh adat berperan dalam membina dan mengendalikan sikap dan tingkah laku warga masyarakat agar sesuai dengan ketentuan adat. 
4.Tokoh agama
·                     Tokoh agama adalah orang yang memiliki pemahaman luas tentang agama dan menjalankan pengaruhnya sesuai dengan pemahaman tersebut. Pengendalian yang dilakukan tokoh agama terutama ditujukan untuk menentang perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma agama.
 5.Tokoh masyarakat
*          Tokoh masyarakat adalah setiap orang yang memiliki pengaruh besar, dihormati, dan disegani dalam suatu masyarakat karena aktivitasnya, kecakapannya dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya.