Sejarah Kota Tangerang
Ceritanya malam ini ngobrol bareng teman-teman kosan, gak sengaja
membahas asal usul kota Pontianak yang katanya ada hubungannya dengan
menangkap kuntilanak. Hoho,,itu menurut novel karya Tere Liye.
Terus nyambung ke asal daerahnya Teman saya Tina, yaitu Sirampog, yang
artinya mandi di ujung. Jadi kenapa Sirampog itu lokasinya di bukit yang
paling tinggi di dataran Bumiayu
Naah, saya???
saya sama sekali gak ngerti kenapa wilayah saya dibesarkan, dinamakan
kota Tangerang, jadi saya langsung browsing tentang asal muasal kota
Tangerang, tapi saya lupa tulis sumbernya..:((
*___*
Nama
Tangerang menurut sumber berita tidak tertulis berasal dari kata
“Tangeran”, kata “Tangeran” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”.
Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah
kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.
Tangeran tersebut
berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya
di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun
oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :
Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Kemudian
kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang” disebabkan pengaruh ucapan
dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang
Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata “Tangeran” berubah
menjadi “Tangerang”.
Menurut kajian buku “Sejarah Kabupaten
Tangerang” yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang sejak
dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita pemerintahan ini telah
berkembang di masyarakat.
Cerita itu berawal dari tiga maulana
yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga Maulana kemudian
mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara dan
Santika. Pangkat ketiga Maulana tersebut adalah Aria.
Pemerintahan
kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di
Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi
Sungai Cisadane. Kata “Benteng” ini kemudian menjadi sebutan kota
Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut
gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah
pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan
kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.
Untuk
mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan
catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang
diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa
Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat
sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten
telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.
Kemudian dalam Dag
Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten
telah mengangkat “Radin Sina Patij dan Keaij Daman” sebagai penguasa di
daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena
Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran
Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian
tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia
terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam
Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa
Tangerang pada waktu itu adalah ”Keaij Dipattij Soera Dielaga”. Kyai
Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan
diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag
Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi
tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika
bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul
mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi
gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja
diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga
diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara
sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria
Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada
tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak
mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di
Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: ”Dan
harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan
yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu
daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai
Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut
dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah
Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang
Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni”
Dengan
adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas
sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka
dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan
sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan
secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling
tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara
Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah
letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.
Menurut
arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada
rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding
bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur
Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan
diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan
dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat
melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati
itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan
ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan
28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng
adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga
I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang
Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang
Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian
menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten.
Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat
pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke
tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17.
Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan
sebutan ”Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng.
Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut
”Superintendant of Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816
menyatakan: ”...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus,
tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak
bahkan diambil orang untuk kepentingannya”
Kabupaten Tangerang
sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan,
perhubungan sosial dan interaksi antardaerah lain. Hal ini, disebabkan
letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta -
Banten.
Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan
konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan
Banten dengan Penjajah Belanda.
Secara tutur-tinular, masa
pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah
dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi
penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria
untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.
Ketiga
maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon,
basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini
disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu,
di legenda rakyat cikal-bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa
[sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga
maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga = Tigaraksa].
Pemerintahan
ketiga maulana ini, pada akhirnya dapat ditumbangkan dan seluruh
wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah
terjadi tahun 1684. Berdasar catatan pada masa ini pun, lahir sebutan
kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir ketika Pangeran Soegri, salah
seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun
tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane [diyakini di kampung
Gerendeng, kini].
Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan
Tangerang [bahasa Sunda=tanda] memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul
Jawa Kuno, "Bismillah peget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala
Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/ Rengsenaperang netek Nangeran/Bungas
wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang"
Arti
tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha
Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar
Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan
batas timur Cipamugas [Cisadane] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah
kaum Parahyang"
Diperkirakan sebutan Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang.
Desakan
pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa
dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang
menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda.
Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan
kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.
Para
bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 -
1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria
Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan
baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di daerah ini
dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta.
Lalu, dibuat
kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di
Jakarta, sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir
masa tuan tanah di Tangerang.
Pada 8 Maret 1942, Pemerintahan
Penjajah Belanda berakhir di gantikan Pemerintahan Penjajah Jepang.
Namun terjadi serangan sekutu yang mendesak Jepang di berbagai tempat,
sebab itu Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan pengerahan
pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak
kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.
Kemudian
pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer,
diantaranya yang terpenting ialah Keibodan [barisan bantu polisi] dan
Seinendan [barisan pemuda]. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan
Jakarta Ken ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan
pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera.
Adapun Tangerang pada waktu itu masih berstatus Gun atau kewedanan
berstatus ken (kabupaten).
Berdasar Kan Po No. 34/2604 yang
menyangkut pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka Panitia
Hari Jadi Kabupaten Tangerang menetapkan terbentuknya pemerintahan di
Kabupaten Tangerang. Sebab itu , kelahiran pemerintahan daerah ini
adalah pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini
dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor
18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.
Dalam masa-masa
proklamasi, telah terjadi beberpa peristiwa besar yang melibatkan
tentara dan rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan
Belanda, yaitu Pertempuran Lengkong dan Pertempuran Serpong.
Pertumbuhan
perekonomian Kabupaten Tangerang sebagai daerah lintasan dan berdekatan
dengan Ibukota Negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah
diterbitkannya Inpres No.13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek,
di mana kabupaten Tangerang menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.
Tanggal
28 Pebruari 1993 terbit UU No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota
Tangerang. Berdasarkan UU ini wilayah Kota Administratif Tangerang
dibentuk menjadi daerah otonomi Kota Tangerang, yang lepas dari
Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu terbit pula Peraturan Pemerintah No.
14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Dati II Tangerang
dari Wilayah Kotamadya Dati II Tangerang ke Kecamatan Tigaraksa.
Akhirnya,
pada awal tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pun di
pindahkan Bupati H. Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini
dinilai strategis dalam upaya memajukan daerah karena bertepatan dengan
penerapan otonomi daerah, diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan
daerah, adanya revisi pajak dan retribusi daerah, serta terbentuknya
Propinsi Banten.
Ambil Pelajaran Dari Masa,Tinggalkan Sisanya. Jangan Biarkan Terbelenggu Kesedihan Menutup Jalanmu Menuju Maasa Depan ^_^
Monday, 29 February 2016
Sunday, 14 February 2016
PEGENDALIAN SOSIAL DALAM UPAYA MENGATASI PERILAKU MENYIMPANG DAN SIKAP ANTI SOSIAL
PEGENDALIAN
SOSIAL DALAM UPAYA MENGATASI PERILAKU MENYIMPANG DAN SIKAP ANTI SOSIAL
A.Pengertian
Pengendalian Sosial
Perlu diketahui bahwa setia masyarakat menginginkan kehidupan yang
tentram, damai, dan teratur. Dengan itulah masyarakat perlu suatu sistem untuk
mengatur semua perilaku yang menjadi tujuan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat
perlu ada pengendalian sosial. Sebelum berbicara jauh tentang pengendalian
sosial, alangkah baiknya kita paparkan pengertian pengendalian sosial secara
sekilas. Pengendalian sosial sering diartikan sebagai proses pengawasan dari
suatu kelompok terhadap kelompok lain dan mengajarkan, membujuk, atau memaksa
individu maupun kelompok sebagai bagian dari masyarakat untuk berperilaku
sesuai dengan harapan masyarakat. Berikut pengertian pengendalian sosial
menurut para ahli, antara lain :
1. Peter L
Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk
menertibkan anggotanya yang menyimpang
2. Joseph Stabey
Roucek
Pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada
proses terencana yang didalamnya individu diajarkan, dibujuk, ataupun dipaksa
untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
3. Horton dan Hunt
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh
sekelompok orang tua atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak
sesuai harapan kelompok atau masyarakat.
4. Bruce J Cohen
Pengendalian sosial adalah cara-cara
atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras
dengan kehendak-kehendak kelompok atau masyarakat tertentu.
B. Tujuan
Pengendalian Sosial
Sangat perlu diketahui bahwa pengendalian sosial memiliki
beberapa, antara lain sebagai berikut:
1. Agar masyarakat
mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku.
Pengendalian sosial diciptakan oleh masyarakat
menitikberatkan pada orang yang melakukan penyimpangan terhadap nilai dan norma
sehingga memaksa pelaku penyimpangan untuk patuh terhadap nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
2. Agar tercipta
keserasian dan kenyamanan dalam masyarakat.
Pengendalian sosial juga mampu menciptakan situasi
yang tentram dalam masyarakat apabila pengendalian sosialnya benar-benar
dijalankan. Dengan adanya pengendalian sosial, biasanya pelaku penyimpangan
sosial akan jera bahkan takut akan berbuat sesuatu yang tidak diinginkan oleh
masyarakat.
3. Agar pelaku
penyimpangan kembali mematuhi norma yang berlaku.
Adanya pengendalian sosial dalam masyarakat
diharapkan masyarakat mampu menjalankan seluruh nilai dan norma yang tertulis
maupun tidak tertulis. Apabila terdapat penyimpangan terhadap nilai dan norma
maka akan diberi sanksi. Contohnya, ketika sesorang telah melanggar aturan yang
berlaku, ia diberi sanksi (pengendalian sosial) agar kedepannya ia tidak akan
mengulangi atau akan taat pada aturan yang ada.
C. Pola
Pengendalian Sosial
Dalam masyarakat terdapat empat pola pengendalian
sosial, yaitu pengendalian kelompok terhadap kelompok, pengendalian kelompok
terhadap anggota-anggotanya, dan pengendalian individu terhadap individu
lainnya dan pengendalian individu terhadap kelompok
1. Pengendalian
kelompok terhadap kelompok
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok
mengawasi perilaku kelompok lain, misalnya BNN mengawasi kelompok pengguna
narkoba.
2. Pengendalian
kelompok terhadap anggota-anggotanya
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok
menentukan perilaku anggota-anggotanya, misalnya suatu sekolah yang mencatat
siswa-siswanya yang telah melanggar aturan sekolah.
3. Pengendalian
individu terhadap kelompok
Pengendalian ini terjadi apabila seseorang
menginginkan kelompok tersebut sesuai dengan keinginannya maupun masyarakat.
Misalnya Wali kelas yang mengawasi anak didiknya setiap hari.
4. Pengendalian
individu terhadap individu lainnya
Pengendalian ini terjadi apabila individu melakukan
pengawasan terhadap individu lain, misalnya ayah mengawasi anaknya.
D. Fungsi
Pengendalian Sosial
Para pelaku penyimpangan selalu bertanya, buat apa
diciptakan pengendalian sosial? karena bagi mereka hal ini hanya membuat mereka
terkekang untuk melakukan tindakan pelanggaran terhadap nilai dan norma. Untuk
itu, perlu dikatahui bahwa terdapat beberapa fungsi pengendalian sosial dalam
masyarakat yaitu:
1. Mempertebal
keyakinan masyarakat terhadap norma sosial.
2. Memberikan imbalan
kepada warga yang menaati norma.
3. Mengembangkan rasa
takut untuk tdk melakukan perbuatan yg dinilai beresiko.
4. Menciptakan sistem hukum (aturan yang
disusun secara resmi dan disertai sanksi).
E. Sifat
Pengandalian sosial
Ada dua macam sifat pengendalian sosial yakni :
1.Bersifat preventif
Pengendalian bersifat preventif adalah tindakan yang dilakukan
untuk mencegah (pencegahan) terhadap kemungkinan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial. Jadi tindakan ini
dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan. Orang yang melakukan pengendalian
sosial ini adalah orang mengetahui tentang nilai dan norma, selanjutnya ia
sosialisasikan atau bentuk penyuluhan kepada orang yang belum medapatkan
informasi tentang nilai dan norma lama maupun yang baru. Contoh : guru (waka kesiswaan)
menasehati calon siswa baru tentang nilai dan norma yang berlaku di sekolah
tersebut agar kedepannya siswa baru tidak melanggarnya.
2. Bersifat
Represif
Pengendalian sosial
yang bersifat refresif adalah pengendalian yang bertujuan untuk mengembalikan
keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran dengan
cara memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengendalian
ini dilakukan setelah terjadinya penyimpangan agar pelaku tidak lagi mengulangi
perbuatannya dan mentaati nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Contoh :
Waka Kesiswaan (guru) menghukum siswa yang terlambat datang ke sekolah.
F. Proses Pengendalian Sosial
1.
Secara Persuasif
Pengendalian sosial secara persuasif dilakukan
dengan cara lemah-lembut, membimbing atau mengajak individu untuk mematuhi atau
berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat bukan dengan cara
kekerasan. Dengan kata lain, ketika seseorang telah
melakukan penyimpangan maka sanksi yang diberikan adalah dengan rehabilitasi,
dinasehati, atau diajak untuk melakukan yang bermanfaat. Akan tetapi tidak
semua penyimpangan mampu diselesaikan dengan cara ini, karena setiap
penyimpangan memiliki cara tersendiri untuk membuat pelaku akan kembali ke
nilai dan norma yang berlaku.
2. Secara Koersif
Ada kalanya pengendalian sosial dengan cara
koersif, artinya pengendalian sosial secara koersif dilakukan dengan kekerasan
atau paksaan. Karena penyimpangan yang telah berulang-ulang kali atau yang
telah merugikan orang banyak hendaknya dilakukan dengan paksaan. Pengendalian
sosial dengan kekerasan dibedakan menjadi dua:
1) Kompulsi (paksaan),
artinya keadaan yang sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa menuruti
atau mengubah sifatnya dan menghasilkan suatu kepatuhan yang sifatnya tidak
langsung. Contoh: diberlakukannya sanksi skorsing bagi siswa yang banyak
melanggar aturan sekolah.
2) Pervasi
(pengisian), secara pengertian pervasi merupakan cara penanaman atau pengenalan
norma secara berulang-ulang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan
yang diinginkan. Contoh: pecandu narkoba dipaksa untuk berhenti dan diberi
penyuluhan berulang-ulang tentang bahaya narkoba.
G.
Cara-cara Pengendalian Sosial
Secara umum pengendalian sosial dapat dibedakan dengan dua cara yaitu :
1. Pengendalian Sosial secara Formal
1) Pengendalian sosial
melalui hukuman fisik
Pengendalian sosial cara ini dilakukan oleh
lembaga-lembaga resmi atau yang diakui keberadaannya. Contohnya penembakan
pelaku teroris yang menyerang aparat kepolisian.
2) Pengendalian sosial
melalui lembaga pendidikan
Pendidikan merupakan pengendalian sosial secara
terencana dan berkesinambungan agar terjadi perubahan-perubahan positif dalam
perilaku seseorang. Dengan hal itu, diharapkan perilaku tersebut tidak
menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
3) Pengendalian sosial
melalui ajaran agama
Setiap pemeluk agama akan berusaha sedapat mungkin
menjalankan ajaran agamanya tersebut dalam tingkah lakunya sehari-hari. Ajaran
agama mempunyai sanksi mutlak. Hal ini membuat ajaran agama sebagai media
pengendalian sosial yang cukup besar pengaruhnya dalam menjaga stabilitas
masyarakat.
2. Pengendalian Sosial secara Informal
Sedangkan pengendalian sosial secara informal dapat dilakukan melalui enam cara :
Sedangkan pengendalian sosial secara informal dapat dilakukan melalui enam cara :
1) Cemoohan
Cemoohan adalah tindakan membicarakan seseorang
dengan menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, atau kata-kata yang
berlebihan serta bermakna negatif.
2) Desas-desus (gosip)
Desas-desus adalah berita yang menyebar secara
cepat dan tidak berdasarkan fakta atau bukti-bukti kuat.
3) Ostrasisme
(pengucilan)
Ostrasisme adalah suatu tindakan pemutusan hubungan
sosial dari sekelompok orang terhadap seorang anggota masyarakat.
4) Fraundulens
Fraundulens merupakan bentuk pengendalian sosial
yang umumnya terdapa pada anak kecil. Misalnya, A bertengkar dengan B. Jika si
A lebih kecil dari B, maka si A mengancam bahwa dia mempunyai kakak yang berani
yang dapat mengalahkan B.
5) Teguran
Teguran merupakan cara pengendalian sosial melalui
perkataan atau tulisan secara langsung. Teguran dilakukan agar pelaku perilaku
menyimpang segera menyadari kekeliruannya dan memperbaiki dirinya.
6) Intimidasi
Intimidasi merupakan cara pengendalian sosial yang
dilakukan dengan paksaan, biasanya dengan cara mengancam atau menakut-nakuti.
Aparat penegak hukum sering menggunakan cara ini untuk mengorek keterangan dari
orang yang dimintai keterangannya.
H.
Jenis-jenis Lembaga Pengendalian Sosial
Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa lembaga pengendalian sosial dalam
masyarakat tidak hanya di Kepolisian. Masih banyak lagi lembaga pengendalian
sosial di masyarakat bisa menyelesaikan beberapa masalah penyimpangan atau
pelanggaran baik di lembaga formal maupun non-formal seperti :
1. Lembaga kepolisian
Polisi merupakan aparat resmi
pemerintah untuk menertibkan keamanan. Tugas-tugas polisi, antara lain
memelihara ketertiban masyarakat, menjaga dan menahan setiap anggota masyarakat
yang dituduh dan dicurigai melakukan kejahatan yang meresahkan masyarakat,
misalnya pencuri, perampok dan pembunuh.
2. Pengadilan
Pengadilan lembaga resmi yang
dibentuk pemerintah untuk menangani perselisihan atau pelanggaran kaidah di
dalam masyarakat. Pengadilan memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu
sama lain. Unsur-nsur yang saling berhubungan dengan pengadilan adalah hakim,
jaksa dan pengacara. Dalam proses persidangan, jaksa bertugas menuntut pelaku
untuk dijatuhi hukuman sesuai peraturan yanag berlaku. Hakim bertugas
menetapkan dan menjatuhkan putusan berdasarkan data dan keterangan resmi yang
diungkapkan di persidangan. Pengacara atau pembela bertugas mendampingi pelaku
dalam memberikan pembelaan.
3 Tokoh adat
·
Tokoh adat adalah pihak yang berperan menegakkan aturan adat. Peranan
tokoh adat adalah sangat penting dalam pengendalian sosial. Tokoh adat berperan
dalam membina dan mengendalikan sikap dan tingkah laku warga masyarakat agar
sesuai dengan ketentuan adat.
4.Tokoh agama
·
Tokoh agama adalah orang yang memiliki pemahaman luas tentang agama dan
menjalankan pengaruhnya sesuai dengan pemahaman tersebut. Pengendalian yang
dilakukan tokoh agama terutama ditujukan untuk menentang perbuatan yang tidak
sesuai dengan nilai dan norma agama.
5.Tokoh masyarakat
* Tokoh masyarakat adalah setiap orang
yang memiliki pengaruh besar, dihormati, dan disegani dalam suatu masyarakat
karena aktivitasnya, kecakapannya dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya.
Subscribe to:
Comments (Atom)